Iri hati, atau dalam bahasa inggris dijelaskan dengan kata envy yang dikutip dari http://dictionary.reference.com/browse/envy
“a feeling of discontent or covetousness with regard toanother’s advantages, success,possessions, etc”
Iri hati masih terus menjangkiti kehidupan manusia saat ini. Dosa purba yang terus berlanjut, bergerak dari zaman ke zaman.
Iri hati dapat menghancurkan pemikiran dan nurani manusia itu sendiri. Keinginan lebih dari individu lain. Lebih hebat, lebih kaya, lebih berkuasa, lebih tampan, lebih cantik, lebih beruntung, lebih… lebih… dan lebih… segala-galanya.
Manusia pun lupa akan keberadaannya, bahwa yang dimilikinya tidak abadi dan sesungguhnya bukanlah miliknya.
Dalam hubungan antar manusia yang terjadi setiap harinya, manusia bergerak dengan tujuan masing-masing. Namun ketika melihat keberhasilan orang lain, terkadang individu tidak memiliki kekuatan hati yang cukup bahwa orang lain pun bisa lebih baik darinya. Dan beragam orang yang lebih sukses serta lebih baik dari orang-orang yang sudah dianggap sukses tersebut.
Iri hati. Membuat buram esensi dari kesuksesan itu sendiri. Dalam perspektif tiap individu, masing-masing dapat mempersepsikan kesuksesan dengan kriteria-kriteria yang telah dipelajarinya dari berbagai pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya. Tidak sedikit individu menjadi mengukur dirinya dengan ukuran orang lain yang belum tentu sesuai dengan dirinya. Bukannya mengukur kemampuan serta capaiannya dengan tujuan yang dituju.
Iri hati bergerak ke hierarki yang lebih tragis dengan bekembangnya iri hati menjadi keserakahan. Dengan keserakahan, individu seolah-olah menuhankan dirinya. Menganggap dia bisa memiliki segalanya dan sejatinya melupakan siapa sesungguhnya pemilik alam semesta ini..
Iri hati merasuk ke setiap segi kehidupan. Mulai dari rakyat biasa hingga petinggi-petinggi yang haus kekuasaan dan harta. Iri hati yang berkasta-kasta dan memiliki levelnya sendiri-sendiri. Ketika satu level telah terlampaui maka bergerak ke level yang lebih tinggi. Pemimpin yang haus kekuasaan dan merasa level kekusaannya harus sebanding dengan level iri-nya merasa korupsi merupakan hal yang lumrah. Para pekerja yang iri dengan kesuksesan orang lain justru menggunakan segenap trik untuk menyamai kesuksesan yang lainnya, lobi-lobi busuk digencarkan dan naik level ke tingkat iri selanjutnya. Ibu-ibu yang iri dengan ibu-ibu lainnya karena memiliki barang-barang yang baru dibelinya kemudian memaksa suami-suaminya untuk entah bagaimana caranya harus membelikan apa yang dimau. Peserta didik yang iri dengan prestasi temannya, menggunakan segala cara agar nilai seratus didapatnya. Iri hati kronis seperti ini siapakah yang mengajarkan?
Dan semakin individu merasa memiliki segala sesuatu sesungguhnya dia semakin kehilangan dirinya. Kebahagiaan sesungguhnya berangsur-angsur pergi meninggalkannya. Hanya dirinya sendiri. Sendirian. Tesesat dalam labirin kemenangan semu.
Dosa purba yang telah berulang-ulang diceritakan dalam kisah-kisah terdahulu, sejarah kehidupan manusia sejak dahulu. Hendaknya ini menjadi pelajaran bagi yang mau memahami dan menerapkannya dalam kehidupannya.
Saya, Kamu, Mereka, Kita, hendaknya berkaca diri bahwa kita hanyalah hamparan mikro di semesta yang makro. Tuhan Semesta Alam selalu melihat kita. Kembalilah, ingatlah, kita bukan apa-apa. Perbaiki diri sesegera mungkin, .
Semoga menjadi bahan refleksi diri