Rencana besar yang tersirat dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), 2011-2024. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan disatukan secara fisik lewat jembatan yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, salah satu pulau di Maluku, dan Papua. Yang jelas sudah tersurat dalam MP3EI adalah jembatan Selat Sunda, jembatan yang menghubungkan Jawa- Sumatera. Jembatan sepanjang 45 km ini mulai dibangun 2014 dan ditargetkan beroperasi 2024.
Rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dianggap aneh oleh sebagian masyarakat. Sebagai negara maritim -dengan luas wilayah perairan lebih dari 70%—, yang mesti diprioritaskan adalah pembangunan pelabuhan dan pengadaan kapal modern, yang berukuran kecil hingga berukuran besar. Laut bukan kawasan yang memisahkan kita. Dengan pelabuhan yang bagus dan kapal bermutu dalam jumlah yang cukup, laut justu mempersatukan Indonesia.
Tidak ada yang membantah hal ini. Jembatan sama sekali tidak bermaksud untuk menggantikan peran kapal. Transportasi laut tetap menjadi andalan dan karenanya akan terus dibangun dan disempurnakan. Jembatan dibangun untuk melengkapi transportasi laut. Pergerakan penumpang, terutama barang, yang terus meningkat membutuhkan jembatan. Truk dari Merak ke Bakauheni membutuhkan waktu empat jam. Dua jam di pelabuhan dan dua jam di perjalanan. Dengan jembatan Selat Sunda, truk dari Anyer ke daratan Sumatera hanya membutuhkan waktu setengah jam.
Pihak yang menentang pembangunan jembatan Selat Sunda juga mempertanyakan biaya yang sangat besar, yakni US$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun. Dengan dana sebesar ini, sedikitnya sepuluh pelabuhan modern bisa dibangun dan puluhan kapal canggih bisa diadakan. Pendanaan memang isu pokok dalam pembangunan infrastruktur. Tapi, untuk pembangunan jembatan Selat Sunda, kabarnya, pemerintah RRT sudah menyatakan kesediaan.
Manfaat utama jembatan Selat Sunda bukan terletak pada keberadaan jembatan itu sendiri, melainkan pada penyatuan dua pulau besar. Kehadiran jembatan Selat Sunda membuat Jawa dan Sumatera seakan satu pulau. Pergerakan orang dan barang akan meminimalkan ketimpangan. Apalagi, penyelesaian pembangunan jembatan Selat Sunda bersamaan dengan rampungnya Trans-Sumatera, sebuah jalan darat baru ukuran high-way dan high-great. Trans- Jawa dengan rel kereta double track sudah lebih dahulu beroperasi, selambatnya 2017.
Penyatuan Jawa-Sumatera diperkirakan mampu meningkatkan akselerasi pembangunan kawasan, terutama kawasan Banten, Jabar bagian selatan, Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Kehadiran jembatan mendorong pembentukan kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini, 78% PDB Indonesia disumbangkan Jawa dan Sumatera.
Sekitar 81% penduduk Indonesia berdiam di kedua pulau Indonesia bagian barat ini. Penyatuan memungkinkan ekonomi Jawa- Sumatera melaju hingga double digit. Sukses jembatan Jawa-Sumatera akan diikuti pembangunan jembatan Sumatera- Kalimantan, Jawa-Bali, dan Kalimantan-Sulawesi. Dengan demikian, pembangunan jembatan Selat Sunda merupakan batu ujian bagi pembangunan jembatan antarpulau di Tanah Air. Kita mendukung rencana besar ini. Jembatan Selat Sunda juga akan mengurangi tekanan terhadap Jadebotabek. Jembatan Selat Sunda juga menjadi ajang unjuk latihan dan unjuk kebolehan para insinyur Indonesia.
Sukses membangun jembatan terpanjang di dunia, Indonesia bakal masuk radar investasi global dan menjadi Negara tujuan pariwisata paling favorit. Jembatan Selat Sunda menjadi bukti nyata perbaikan iklim investasi. Kisah sukses akan menambah kepercayaan diri anak bangsa dan meningkatkan martabat bangsa di mata dunia. Kita berharap, pemerintah segera membentuk tim persiapan pembangunan Selat Sunda dan memberikan semua perizinan yang dibutuhkan.
Namun, rencana besar ini harus ditopang dan diimbangi oleh berbagai hal agar percepatan pembangunan berjalan seperti visi yang sudah ditancapkan, yakni mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan masuk 12 besar kekuatan dunia pada tahun 2025 dan 8 besar tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan. Pertama, MP3EI — yang diakui dunia sebagai masterpiece perencanaan pembangunan Indonesia— harus menjadi visi bersama bangsa.
Payung hukum MP3EI yang hanya perpres perlu ditingkatkan menjadi undangundang. Siapa pun presiden RI, MP3EI harus dipertahankan dan dikembangkan, bukan hanya hingga 2024, melainkan sampai Indonesia menjadi 8 besar kekuatan ekonomi dunia dilihat dari PDB.
Kedua, pembangunan infrastruktur harus merata di enam kordidor pembangunan. Jembatan Selat Sunda akan mempercepat dan memperluas Koridor I (Sumatera) dan Koridor II (Jawa), dua koridor yang selama ini dikenal sebagai Kawasan Barat Indonesia (KBI) dilihat dari penyebaran pembangunan. Sejalan dengan visi MP3EI, pembangunan ekonomi justru harus lebih diarahkan ke Kawasan Timur Indonesia (KTI), meliputi Koridor III (Kalimantan), Koridor IV (Sulawesi dan Maluku Utara), Koridor V (Bali dan Nusa Tenggara), serta Koridor VI (Papua dan Maluku). Jumlah penduduk di KTI hanya 19% dari total penduduk Indonesia. Pangsa PDB empat koridor pembangunan ini cuma 30% dari total PDB. Sedangkan luas wilayah daratan KTI mencapai 68% dari total wilayah daratan Indonesia.
Masa depan Indonesia justru ada di KTI, wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Jika ada konsistensi dalam pembangunan sesuai program MP3EI, KTI mampu menjadi lumbung pangan dan energi, dua isu utama yang selama ini menjadi perhatian dunia. Slogan “Feed Indonesia, Feed The World” bisa menjadi kenyataan bila sector pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, migas, dan pertambangan di KTI dikelola dengan lebih baik. Bersamaan dengan itu, KTI juga bisa dikembangkan menjadi lumbung energi, termasuk energi dari bahan bakar nabati.
Selain pembangunan jembatan Selat Sunda, pemerintah perlu memberikan perhatian besar terhadap konektivitas intrakoridor dan antarkoridor, terutama di KTI. Pembangunan pelabuhan, jalan raya, bandara, dan pengadaan kapal di empat koridor di KTI perlu mendapat perhatian. Biaya distribusi barang dari KTI ke Jakarta jauh lebih mahal dibanding dari Australia atau dari RRT ke Jakarta. Ketiga, menyatukan Indonesia tidak sekadar membangun jembatan antarpulau dan infrastruktur transportasi. Juga tidak cukup dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Menyatukan Indonesia hanya mungkin jika ada keadilan yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi baru tidak boleh menggusur masyarakat setempat dan hanya membentuk kawasan elite baru. Mereka, masyarakat setempat, harus memiliki mata pencaharian dengan kesejahteraan yang terus meningkat. Pemerintah harus memastikan bahwa para petani setempat tidak kehilangan lahan garapan. Mereka yang tidak memiliki lahan pertanian perlu mendapatkan pekerjaan. Hanya dengan begitu, upaya menyatukan Indonesa secara fisik didukung seluruh rakyat.
Rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dianggap aneh oleh sebagian masyarakat. Sebagai negara maritim -dengan luas wilayah perairan lebih dari 70%—, yang mesti diprioritaskan adalah pembangunan pelabuhan dan pengadaan kapal modern, yang berukuran kecil hingga berukuran besar. Laut bukan kawasan yang memisahkan kita. Dengan pelabuhan yang bagus dan kapal bermutu dalam jumlah yang cukup, laut justu mempersatukan Indonesia.
Tidak ada yang membantah hal ini. Jembatan sama sekali tidak bermaksud untuk menggantikan peran kapal. Transportasi laut tetap menjadi andalan dan karenanya akan terus dibangun dan disempurnakan. Jembatan dibangun untuk melengkapi transportasi laut. Pergerakan penumpang, terutama barang, yang terus meningkat membutuhkan jembatan. Truk dari Merak ke Bakauheni membutuhkan waktu empat jam. Dua jam di pelabuhan dan dua jam di perjalanan. Dengan jembatan Selat Sunda, truk dari Anyer ke daratan Sumatera hanya membutuhkan waktu setengah jam.
Pihak yang menentang pembangunan jembatan Selat Sunda juga mempertanyakan biaya yang sangat besar, yakni US$ 10 miliar atau sekitar Rp 100 triliun. Dengan dana sebesar ini, sedikitnya sepuluh pelabuhan modern bisa dibangun dan puluhan kapal canggih bisa diadakan. Pendanaan memang isu pokok dalam pembangunan infrastruktur. Tapi, untuk pembangunan jembatan Selat Sunda, kabarnya, pemerintah RRT sudah menyatakan kesediaan.
Manfaat utama jembatan Selat Sunda bukan terletak pada keberadaan jembatan itu sendiri, melainkan pada penyatuan dua pulau besar. Kehadiran jembatan Selat Sunda membuat Jawa dan Sumatera seakan satu pulau. Pergerakan orang dan barang akan meminimalkan ketimpangan. Apalagi, penyelesaian pembangunan jembatan Selat Sunda bersamaan dengan rampungnya Trans-Sumatera, sebuah jalan darat baru ukuran high-way dan high-great. Trans- Jawa dengan rel kereta double track sudah lebih dahulu beroperasi, selambatnya 2017.
Penyatuan Jawa-Sumatera diperkirakan mampu meningkatkan akselerasi pembangunan kawasan, terutama kawasan Banten, Jabar bagian selatan, Lampung, Jambi, dan Bengkulu. Kehadiran jembatan mendorong pembentukan kawasan pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini, 78% PDB Indonesia disumbangkan Jawa dan Sumatera.
Sekitar 81% penduduk Indonesia berdiam di kedua pulau Indonesia bagian barat ini. Penyatuan memungkinkan ekonomi Jawa- Sumatera melaju hingga double digit. Sukses jembatan Jawa-Sumatera akan diikuti pembangunan jembatan Sumatera- Kalimantan, Jawa-Bali, dan Kalimantan-Sulawesi. Dengan demikian, pembangunan jembatan Selat Sunda merupakan batu ujian bagi pembangunan jembatan antarpulau di Tanah Air. Kita mendukung rencana besar ini. Jembatan Selat Sunda juga akan mengurangi tekanan terhadap Jadebotabek. Jembatan Selat Sunda juga menjadi ajang unjuk latihan dan unjuk kebolehan para insinyur Indonesia.
Sukses membangun jembatan terpanjang di dunia, Indonesia bakal masuk radar investasi global dan menjadi Negara tujuan pariwisata paling favorit. Jembatan Selat Sunda menjadi bukti nyata perbaikan iklim investasi. Kisah sukses akan menambah kepercayaan diri anak bangsa dan meningkatkan martabat bangsa di mata dunia. Kita berharap, pemerintah segera membentuk tim persiapan pembangunan Selat Sunda dan memberikan semua perizinan yang dibutuhkan.
Namun, rencana besar ini harus ditopang dan diimbangi oleh berbagai hal agar percepatan pembangunan berjalan seperti visi yang sudah ditancapkan, yakni mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan masuk 12 besar kekuatan dunia pada tahun 2025 dan 8 besar tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan. Pertama, MP3EI — yang diakui dunia sebagai masterpiece perencanaan pembangunan Indonesia— harus menjadi visi bersama bangsa.
Payung hukum MP3EI yang hanya perpres perlu ditingkatkan menjadi undangundang. Siapa pun presiden RI, MP3EI harus dipertahankan dan dikembangkan, bukan hanya hingga 2024, melainkan sampai Indonesia menjadi 8 besar kekuatan ekonomi dunia dilihat dari PDB.
Kedua, pembangunan infrastruktur harus merata di enam kordidor pembangunan. Jembatan Selat Sunda akan mempercepat dan memperluas Koridor I (Sumatera) dan Koridor II (Jawa), dua koridor yang selama ini dikenal sebagai Kawasan Barat Indonesia (KBI) dilihat dari penyebaran pembangunan. Sejalan dengan visi MP3EI, pembangunan ekonomi justru harus lebih diarahkan ke Kawasan Timur Indonesia (KTI), meliputi Koridor III (Kalimantan), Koridor IV (Sulawesi dan Maluku Utara), Koridor V (Bali dan Nusa Tenggara), serta Koridor VI (Papua dan Maluku). Jumlah penduduk di KTI hanya 19% dari total penduduk Indonesia. Pangsa PDB empat koridor pembangunan ini cuma 30% dari total PDB. Sedangkan luas wilayah daratan KTI mencapai 68% dari total wilayah daratan Indonesia.
Masa depan Indonesia justru ada di KTI, wilayah yang sangat kaya akan sumber daya alam. Jika ada konsistensi dalam pembangunan sesuai program MP3EI, KTI mampu menjadi lumbung pangan dan energi, dua isu utama yang selama ini menjadi perhatian dunia. Slogan “Feed Indonesia, Feed The World” bisa menjadi kenyataan bila sector pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, migas, dan pertambangan di KTI dikelola dengan lebih baik. Bersamaan dengan itu, KTI juga bisa dikembangkan menjadi lumbung energi, termasuk energi dari bahan bakar nabati.
Selain pembangunan jembatan Selat Sunda, pemerintah perlu memberikan perhatian besar terhadap konektivitas intrakoridor dan antarkoridor, terutama di KTI. Pembangunan pelabuhan, jalan raya, bandara, dan pengadaan kapal di empat koridor di KTI perlu mendapat perhatian. Biaya distribusi barang dari KTI ke Jakarta jauh lebih mahal dibanding dari Australia atau dari RRT ke Jakarta. Ketiga, menyatukan Indonesia tidak sekadar membangun jembatan antarpulau dan infrastruktur transportasi. Juga tidak cukup dengan menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru.
Menyatukan Indonesia hanya mungkin jika ada keadilan yang dirasakan oleh seluruh rakyat. Pembentukan pusat pertumbuhan ekonomi baru tidak boleh menggusur masyarakat setempat dan hanya membentuk kawasan elite baru. Mereka, masyarakat setempat, harus memiliki mata pencaharian dengan kesejahteraan yang terus meningkat. Pemerintah harus memastikan bahwa para petani setempat tidak kehilangan lahan garapan. Mereka yang tidak memiliki lahan pertanian perlu mendapatkan pekerjaan. Hanya dengan begitu, upaya menyatukan Indonesa secara fisik didukung seluruh rakyat.